Mencegah Radikalisme dengan Budaya Literasi

Kemahiran literasi siswa Indonesia saat ini masih mengenaskan daripada beberapa negara lain, yaitu rangking 64 menurut Programme for International Student Assessment (PISA) 2 tahun lalu. Status itu mengimplikasikan begitu rutinitas menulis dan membaca, khususnya beberapa siswa pada tingkat dasar sampai menengah, saat ini masih mengkhawatirkan dan memunculkan tanda pertanyaan.

Sistem pengajaran saat ini masih mengaku keberadaan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi mengapa tidak berpengaruh berarti pada tekad dan kekuatan literasi? Pertanyaan begitu tidak mungkin terjawab tanpa pendekatan interdisipliner karena masalah pengajaran literasi di Indonesia sudah capai permasalahan yang saling-sengkarut.

Sebelumnya karena pemahaman khalayak pada pelajaran bahasa yang menjemukan: sekedar bergelut pada gaya bahasa dan hafalan. Belum juga menegasikan elemen sastra sebagai sisi inheren dari bahasa. Dikotomi di antara ke-2 nya sebegitu menganga ketika sastra cuma dikesampingkan sebagai faktor yang remeh-temeh.

Realita di atas lapangan memberikan nasib sastra yang diberikan "sekilas lalu" dengan membebankan pengetahuan kognitif. Bukannya peserta didik dikondisikan untuk bersastra—mengapresasiasi dan menghasilkan kreasi sastra—namun realitanya kembali ke hafalan nama dan pengarang semata-mata.

Praktek itu ditambahkan penilaian akhir berwujud opsi double. Dalam kasus lain, penilaian akhir itu tidak jadi masalah terkecuali untuk disiplin humaniora yang condong buka lebar eksploitasi interpretatif.

Pelajar Indonesia ialah korban masalah opsi double. Dia cuma ditunjukkan empat sampai enam butir jawaban. Peluang jawaban asumtif di luar point itu dipandang salah. Karena itu, tidak ada kebenaran relatif karena salah satunya sumber kebenaran ialah punya si pembikin masalah.

Type pengukuran kekuatan bahasa pelajar itu beresiko untuk perubahan kreasi. Ketrampilan literasi tidak dibuat atas skema apa yang salah dan benar, tapi mengapa dan bagaimana dapat begitu

Mentradisikan Literasi

Kemendikbud gayung bersambut atas tersuruknya kekuatan literasi Indonesia. Dengan program 15 Menit Membaca, di bawah lindungan Pergerakan Literasi Sekolah (GLS), nasib pengajaran literasi di bumi Nusantara berangsur ceria.

Secara konstitusi kegiatan ini ialah tanggapan Permendikbud No. 23 Tahun 2015 ihwal Penumbuhan Budi Pekerti. Pasti, di antara literasi dan kepribadian berpaut-erat jika menyaksikan dari sudut pandang kausalitas: orang memiliki ilmu, karena membaca, pasti baik perangainya.

Target GLS mencakup Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Pertama (SMA) dengan 3 pendekatan masing-masing, yaitu pembiasan, peningkatan, dan evaluasi. Pertama, peserta didik dibawa menyukai pustaka.

Ajakan itu bukan sekedar ajaran verbal mengenai keutamaan membaca, tetapi seberapa jauh guru memberikan contoh dianya sebagai mode. Tidakkah pelajaran terbaik itu ialah panutan? Realita di atas lapangan seringkali paradoks: guru mengajari keutamaan membaca, tapi dirinya tidak pernah melakukan.

Ke-2 , jika pelajar sudah mempunyai kesadaran berdikari untuk membaca berbentuk apa saja, baik buku atau media online, seterusnya dia perlu dibina untuk masuk ke tahapan selanjutnya, yakni pilih dan memisah bacaan.

Ini penting karena sumber bacaan punya pengaruh berarti pada konstruksi berpikiran pelajar. GLS berperanan penting untuk menyortir rekomendasi—fiksi dan nonfiksi—sebagai wujud "kanon pustaka" dengan tingkat keterbacaan yang tentunya disamakan berdasar tingkatan pengajaran.

Ke-3 , mendudukan membaca sebagai tujuan evaluasi. Tahapan paling akhir ini meniscayakan kontinuitas yang sudah dilakukan pelajar, hingga dia membaca bukan lantaran tututan, tetapi keperluan.

Bila kemauan begitu tertancap berbentuk sikap setiap hari pelajar, karena itu sebenarnya dia mentradisikan literasi dalam kerangka belajar sejauh hayat. Dengan begitu, GLS ikut membuat bertambah diskursus evaluasi literasi pada tingkat micro (kelas) dan jawaban atas rendahnya ranking membaca pelajar versus PISA.

Menolak Radikalisme

Perselisihan sectoral tidak pernah turun dalam topik pembicaraan setiap hari di Indonesia. Tuhan dipidatokan sebagai figur yang geram dan gampang mendestruksi karena hanya ketidaksamaan penglihatan.

Istilah radikalisme muncul sebagai sisi kontestasi wawasan sosial, walau kata itu kurang pas jika mengarah pada wujud identitas atas kebringasan barisan terbatas. Radikalisme berbentuk penghayatan private atas agama atau keyakinan tertentu, sepanjang tidak menegasikan pengetahuan seseorang, tidak jadi permasalahan karena dia sebagai gestur totalitas.

Sementara orang yang dipandang radikal itu sebenarnya lebih pas dipandang barisan "sumbu pendek" yang kerap kali menggunakan atribut kacamata kuda: tidak ada kebenaran absolut terkecuali interpretasinya sendiri. Golongan itu, betapapun, tidak termasuk "terbuka literasi" dalam artian luas.

Pribadi yang terdidik dan luas bacaannya tidak mungkin berperangai sempit atau radikal karena untuknya kebenaran itu relatif—tergantung dari sudut pandang mana dia menyaksikan. Oleh karenanya, pengajaran literasi, secara aksiologis, memperlengkapi manusia untuk terima ketidaksamaan sebagai resiko rasional dari kebenaran hidup yang diberi Tuhan.

Pribadi yang literat akan mempunyai kebijakan dalam menanggapi suatu hal, khususnya rendah hati dan menghargai seseorang tanpa persyaratan. Dengan begitu, jika ini hari lawan paling besar Indonesia ialah kesempitan berpikiran, karena itu literasi jadi jalan keluar terbaik dalam membuat kemerdekaan dan keluasaan berpikiran manusia.